“Abah, sangatlah senang hatiku
setiap kali menerima hadiah baju dari Abah. Namun, Abah, alangkah lebih
senangnya lagi hatiku bila baju yang kukenakan adalah baju yang bekas
abah pakai”. ”Ini cucu dari kakakku yang bernama
Abdurrahman,” ujar Habib Muhammad, Putra Habib Ali Kwitang, saat
memperkenalkan salah seorang cucu Habib Abdurrahman bin Ali Habsyi
kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki yang sedang berkunjung ke
Indonesia beberapa puluh tahun silam. Saat itu, dikediaman Habib Husein
bin Ali Al-Attas, Gg. Buluh, Condet, Jakarta Timur, Al Maliki
Terperanjat, ”Jadi, Habib Ali Kwitang mempunyai seorang putra lainnya,
dan itu kakakmu, ya Habib Muhammad? Ajib!”.
Saat berumur 20 tahun, Habib Ali Kwitang,
yang kelahiran tahun 1869, menikah dengan Syarifah Aisyah, dari
keluarga Assegaf, di Kebon Jahe, Jakarta Pusat. Dari pernikahannya itu,
Habib Ali di Anugerahi Anak yang pertama bernama Habib Abdurahman.
Memang, Sosok putra sulung Habib Ali Kwitang ini tidak banyak diketahui
orang. Mungkin karena ia wafat selagi muda, jauh sebelum wafatnya Habib
Ali Kwitang sendiri. Padahal, selagi hidup , kharisma cukup besar. Warga
Kwitang, tempatnya lahir dan dibesarkan, sangat menaruh hormat kepada
WanDerahman, demikian mereka biasa menyebut Habib Abdurrahman bin Ali Al
Habsyi.
SANGAT TAAT KEPADA ORANG TUA
Habib Abdurrahman lahir sekitar tahun 1890 dikampung kwitang, Jakarta, tepatnya di jl. Kramat II No.79, semasa hidupnya , Habib Abdurrahman dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak keistimewaan. Ayahnya adalah guru yang pertama baginya. Selain kepada ayahnya, ia juga menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas Bogor dan Habib Ahmad bin Abdullah Al Attas Pekalongan. Meski tidak sempat lama, ia pernah pula menuntut ilmu di negeri leluhurnya, Hadramaut. Disana ia berguru kepada sejumlah ulama besar Hadramaut di masa itu. Diantaranya Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab, Kakek Abdullah bin Muhammad Syahab, salah seorang ulama besar Hadramaut saat ini yang digelari Galbur Tarim, Jantungnya kota Tarim. Disebutkan pula, gurunya yang lain disana adalah Habib Syech bin Abdurrahman Al Kaf dan Habib Sahil bin Abdullah bin Sahil.
Habib Abdurrahman lahir sekitar tahun 1890 dikampung kwitang, Jakarta, tepatnya di jl. Kramat II No.79, semasa hidupnya , Habib Abdurrahman dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak keistimewaan. Ayahnya adalah guru yang pertama baginya. Selain kepada ayahnya, ia juga menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas Bogor dan Habib Ahmad bin Abdullah Al Attas Pekalongan. Meski tidak sempat lama, ia pernah pula menuntut ilmu di negeri leluhurnya, Hadramaut. Disana ia berguru kepada sejumlah ulama besar Hadramaut di masa itu. Diantaranya Habib Alwi bin Abdullah bin Syahab, Kakek Abdullah bin Muhammad Syahab, salah seorang ulama besar Hadramaut saat ini yang digelari Galbur Tarim, Jantungnya kota Tarim. Disebutkan pula, gurunya yang lain disana adalah Habib Syech bin Abdurrahman Al Kaf dan Habib Sahil bin Abdullah bin Sahil.
Habib Abdurrahman adalah seorang yang
sangat taat dan berbakti kepada sang ayah. Bila menjumpai ayahnya, ia
selalu bertutur kata dengan halus. Sewaktu berpisah pun ia berjalan
mundur, karena tidak ingin membelakangi ayahnya.
Dikisahkan pula, bila ia dibelikan baju
baru oleh ayahnya, ia terima sepenuh hati hadiah itu dengan wajah
berseri–seri. Tapi baju baru itu tidak segera dikenakannya. Tidak berapa
lama, ia berikan baju itu kepada orang lain. Beberapa kali kejadian itu
terjadi, hingga suatu saat Habib Ali bertanya kepadanya, ”Wahai
Abdurrahman, mana baju yang baru kuberikan kepadamu kemarin?” Habib
Abdurrahman menjawab, “Abah, alangkah lebih senangnya lagi hatiku bila
baju yang kukenakan adalah baju yang bekas abah pakai”.
Selain mencerminkan rasa ta’zimnya yang
begitu besar kepada sang ayah, kisah diatas juga menunjukkan hatinya
yang pemurah kepada sesama. Sekali waktu, pernah Habib Muhammad,
adiknya, terlambat pulang kerumah, sedang hari sudah larut malam. Dari
kejauhan Habib Muhammad melihat kakaknya sedang berdiri di depan rumah.
Karena pulang agak larut, ia sungkan kepada sang kakak.
Maka ia ambil jalan memutar kepintu samping. Ternyata di pintu samping rumahnya itupun ada Habib Abdurrahman, yang tengah berdiri. Ia memutar lagi lewat pintu belakang. Aneh, lagi–lagi dipintu belakang rumahnya itu ia lihat Sang kakak. Habib Abdurrahman kemudian memanggilnya dengan lembut ia berkata, ”Ya Muhammad, jangan takut kepadaku. Sekarang masuklah, ini waktunya sudah malam. Nati ente sakit, masuk angin. Lain kali jangan pulang terlalu larut. Jangan sampai abah yang membukakan pintu. Kasihan, Abah sudah sepuh.”
Maka ia ambil jalan memutar kepintu samping. Ternyata di pintu samping rumahnya itupun ada Habib Abdurrahman, yang tengah berdiri. Ia memutar lagi lewat pintu belakang. Aneh, lagi–lagi dipintu belakang rumahnya itu ia lihat Sang kakak. Habib Abdurrahman kemudian memanggilnya dengan lembut ia berkata, ”Ya Muhammad, jangan takut kepadaku. Sekarang masuklah, ini waktunya sudah malam. Nati ente sakit, masuk angin. Lain kali jangan pulang terlalu larut. Jangan sampai abah yang membukakan pintu. Kasihan, Abah sudah sepuh.”
BUAH DARI AKHLAK MULIA
Habib Abdurrahman juga aktif dalam
mengikuti berita berita pergerakan yang tengah marak pada saat itu.
Diantara kawan akrabnya adalah H. Agus Salim, seorang tokoh pergerakan
nasional yang terkenal. Sewaktu terjadi ikhtilaf antara jami’at Kheir
dan Al Irsyad, ia mengkliping berita–berita dari berbagai surat kabar
dan tulisan–tulisan yang terkait dengan itu. Ia memang seorang yang
gemar membaca. Sementara itu, akhlaq mulia Habib Abdurrahman kepada
orang tuanya menjadi faktor utama yang dikemudian hari membuahkan maqam
yang tinggi baginya disisi Allah SWT. Banyak kisah yang beredar terutama
bagi warga Kwitang yang menyebutkan kelebihan dirinya.
Suatu saat, ketika dirinya tengah sakit,
kebetulan sang ayah hendak mengunjungi Habib Abdullah bin Muhsin Al
Attas Bogor, gurunya sekaligus guru ayahnya pula. “Ya Abdurrahman, abah
mau ke Habib Abdullah, nanti sekalian Abah minta air untuk didoakan
Habib Abdullah agar sakitmu lekas sembuh.” Sesampainya di Bogor, Habib
Ali mengutarakan hajatnya terkait dengan kondisi putra nya kepada Habib
Abdullah. Sambil menunjuk secangkir kopi di hadapannya, Habib Abdullah
mengatakan, “ini kopi anakmu.” Rupanya Habib Abdurrahman baru saja
beranjak pulang dari tempat Habib Abdullah. Aneh memang, padahal tadi
Habib Ali meninggalkan Habib Abdurrahman yang tengah berbaring sakit.
Habib Ali pun memahami bahwa putranya ini memiliki kedudukan khusus di
sisi Allah SWT.
Seringkali pula bila Habib Abdurrahman
masuk kekamar setelah berhari–hari baru keluar. Banyak yang kemudian
menghubungkannya dengan sejumlah kabar yang dibawa orang–orang yang baru
pulang dari tanah suci yang kerap menjumpai Habib Abdurrahman disana
Wallahu a’lam. Suatu hari ia mengantar kepergian seseorang yang hendak
pergi haji sampai ke pelabuhan Tanjung Priok. Sesampainya di Tanah Suci,
orang tersebut kaget bukan kepalang, karena orang pertama yang
menyambutnya disana adalah Habib Abdurrahman sendiri.
Orang banyak yang menyakininya sebagai
salah satu seorang waliyullah. Entah kenapa, bila sedang datangnya
hal-nya (keadaaan tertentu yang biasa dialaminya seorang wali), ia
merokok, dengan mengisap sebatang lisong. Sekali waktu seorang pedagang
soto yang ingin berharap keberkahan darinya memungut sisa puntung
rokoknya. Ia menyimpannya di tempat ia menyimpan uang dagangannya. Ia
menyakini, dengan izin Allah, keberkahan Habib Abdurrahman akan membawa
keberuntungan bagi dirinya. Dagangannya ternyata menjadi lebih laris
dari biasanya. Yang lain hendak mengikuti hal itu. Sayang, sejak saat
itu meski mereka mereka sering mengintai kapan kiranya Habib Abdurrahman
merokok, mereka tak pernah menjumpai sisa puntung rokonya lagi.
MENIKAHI GADIS BELANDA
Di dekat pecenongan, terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda mulai membolehkan mereka tinggal diluar kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota. Habib Abdurrahman Al Habsyi sering mendatangi kawan–kawannya disana dengan berjalan kaki, mengenakan sarung, serta kopiah dan berbaju putih.
Di dekat pecenongan, terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda mulai membolehkan mereka tinggal diluar kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota. Habib Abdurrahman Al Habsyi sering mendatangi kawan–kawannya disana dengan berjalan kaki, mengenakan sarung, serta kopiah dan berbaju putih.
Dari seringnya ia menyambangi
kawan–kawannya itulah ia bertemu dengan jodohnya, yaitu Maria Van
Engels, seorang gadis Belanda yang bekerja di sebuah perusahaan jahit
milik orang Belanda. Setiap kali ia ke Gang Abu, ia melewati tempat
Maria bekerja. Awalnya Habib Abdurrahman tak dihiraukan. Tapi lama–
kelamaan hati Maria pun terpikat, hingga kemudian mereka berdua sepakat
menikah. Maria terlebih dahulu menyatakan setuju menjadi muslimah dan
mengganti nama jadi Maryam. Ibunya, yang biasa disebut encang, ikut
bersama anak gadisnya.
Menjelang pernikahan mereka di kediaman
Habib Ali Kwitang (kini Majelis Ta’lim). Tersiar isu serombongan tentara
Belanda siap mendatangi Kampung Kwitang untuk menggagalkannya. Namun,
rupanya penduduk Kwitang tak kalah gesitnya. Sejumlah jagoan dan
jawaranya, seperti Haji Sairin, Haji Saleh, dan banyak lagi, bersiap
menyambut kedatangan mereka. Mereka menunggu di Warung Andil, perempatan
Jalan Kramat II (dulu Gang Adjudant) dan Kembang 1, siap menyambut
kedatangan soldadoe Belanda yang akhirnya urung datang.
Setelah pernikahan secara islam, Maryam
jadi menantu kesayangan Habib Ali dan tinggal disamping rumah mertuanya.
Ia cepat dapat bergaul dan berpartisipasi dengan masyarakat sekitar.
Orang–orang kampung Kwitang menyebut Wan Non. Non adalah kependekan dari
Noni, sebutan khas gadis gadis Belanda. Dikemudian hari, cucunya
memanggil Jidah Non. Setelah berkeluarga, oleh Habib Abdurrahman, Wan
Non diminta kesediaannya untuk tidak keluar kamar selama 2 tahun. Hal
itu dimaksudkannya untuk melatih dan mendidik agama kepada istrinya,
yang muallaf.
Sejak saat itu Wan Non tidak pernah
melepaskan busana muslim. Ia memakai kain dan kebaya, serta berkerudung,
dan hampir tidak pernah melepaskan tasbih. Sampai akhir hayatnya, Wan
Non pun berusaha untuk tidak menemui orang yang bukan mahram. Sedang
ibunya, yang juga tinggal bersama menantunya, menjadi seorang ibu
shalihah. Bahkan ia diberangkatkan ke Tanah Suci.
Suatu malam di tahun 1961, Wan Non, yang
sedang sakit, menginginkan semua keluarga berada didekatnya. Dan dimalam
itu juga ia wafat. Jenazahnya dibaringkan didekat kamar mertuanya,
Habib Ali Kwitang. Sejumlah ulama terkemuka Jakarta, seperti K.H.
Abdullah Syafii, K.H. Tohir Rohili, K.H Nur Ali, hadir diantara ribuan
pelayat. Wan Non, yang meski terlahir dari keluarga Non Muslim, menjadi
satu contoh keberhasilan didikan agama yang ketat dari seorang suami dan
kepala rumah tangga. Meski suaminya kemudian wafat lebih dulu (1941),
Wan Non tetap menjalankan kehidupannya dengan penuh taqwa, hingga akhir
hayatnya.
DAKWAH HARUS TERUS BERLANJUT
Suatu hari, ditahun 1941, Habib
Abdurrahman mengundang sejumlah orang untuk membaca tahlil bersama pada
suatu malam yang ia telah tentukan. Beberapa hari kemudian, ia juga
mendatangi seorang penggali kubur di kompleks pekuburan Tanah Abang.
Saat itu ia memesan sebuah kuburan dengan ukuran tertentu, seraya
mengatakan kepada si penggali kubur bahwa kuburan itu di pesan untuk
seorang putra Habib Ali Kwitang yang wafat, yang bernama Abdurrahman.
Pada hari acara tahlil yang telah
ditentukan, pada hari itu pula Habib Abdurrahman wafat. Ternyata Habib
Abdurrahman sendiri. Begitu pula saat si penggali kubur hendak
berta’ziyah ke Habib Ali Kwitang, betapa kagetnya ia melihat jenazah.
Ternyata orang yang memesan lahan kuburan itu adalah Habib Abdurrahman
sendiri. Rupanya Habib Abdurrahman sudah beroleh kabar terlebih dulu
dari Yang Menciptakannya, Allah SWT, akan masa akhir hidupnya.
Beberapa puluh tahun setelah wafatnya
Habib Abdurrahman, seorang putranya yang bernama Muhdhar tengah dilanda
kesulitan. Suatu malam, ia bermimpi ditemui sang ayah. Ayahnya berpesan,
dibawah salah satu tiang rumah nya, ia meninggalkan sesuatu untuknya.
Siangnya Habib Muhdhar menggali tempat itu. Setelah digali, ia menemukan
sebuah kotak kayu berukuran kecil. Ketika dibuka, didalamnya terdapat
benda–benda peninggalan Habib Abdurrahman berupa Jubah, sorban, dan
sebuah kitab kumpulan dzikir yang merupakan tulisan tangan Habib
Abdurrahman.
Meski orang sekarang tidak banyak yang
mengenalnya, namanya ternyata termasyhur bagi sejumlah pihak. Saat salah
seorang mursyid Tarekat Naqsabandiyah terkenal, Syaikh Nazim Al
Haqqani, pertama datang ke Indonesia, diantara yang ditanyakan adalah di
mana makam Habib Abdurrahman bin Ali Al Habsyi . Al Haqqani mengatakan,
ia mengetahui sosok Habib Abdurrahman sebagai seorang sufi besar yang
menjadi seorang mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah. Orang banyak pun
takjub mendengar informasi dari Al Haqqani tersebut.
Habib Abdurrahman dimakamkan di pekuburan
Tanah Abang. Sayang kini, makamnya sudah tidak ada lagi, terkena
bongkaran di zaman Gubernur Ali Sadikin. Saat makamnya dibongkar,
sebagaimana halnya pada makam Habib Ustman Mufti Betawi, Jasadnya tidak
ditemukan sama sekali. Namun, secara simbolis tanah bekas kuburannya pun
dipindahkan ke jeruk purut. Keanehan lagi-lagi terjadi, beberapa hari
setelah dipindahkan,”makam”nya menghilang tanpa bekas. Pesan Habib
Abdurrahman dalam mimpi tersebut lewat sejumlah benda peninggalannya
memiliki makna yang dalam, diantaranya dakwah yang harus terus
berlanjut. Itu selaras dengan salah satu pesan Habib Ali Kwitang,
sebagaimana dikisahkan kembali oleh seorang keturunannya, hendaklah
salah seorang dari keturunannya menjadi khatib dalam pelaksanaan shalat
id di Masjid Al Riyadh, Masjid yang didirikannya.
Amanah tersebut juga menyimpan pesan
perlu kaderisasi dakwah dari Habib Ali Kwitang kepada keluarganya secara
keseluruhannya. Saat ini Habib Muhammad Amin Al Habsyi, salah seorang
keturunan Habib Abdurrahman, turut mengemban amanah tersebut. Lewat
Majelis Syababun Nabawi yang dipimpinnya, ia menggelar majelis–majelis
ilmu dan dzikir. Di Majelis itu pula, yang terletak di kampung pabuaran,
cicadas, Gunung Putri, Haul Habib Abdurrahman Al Habsyi diperingati
setiap tahunnya, yaitu di Sabtu pertama bulan Jumadil Awal.
Sumber: Majelis Ratib Muhyin Nufuus Syamsi Syumus, Kwitang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar