HABIB ALI AL-HABSYI KWITANG (Mata Air Ilmu di
Tanah Betawi)
Sebutlah
nama Habib Ali Kwitang dihadapan ulama atau ustadz di Jakarta. Pastilah kesan
takzim akan muncul seketika. Sebagian mereka bahkan akan langsung melafalakan
surat al-Fatihah sebagai doa bagi beliau.
Guru dari para kyai itu sebagian besar terkait dengan
ulama besar yang masyhur dengan Majelis Kwitang berusia lebih dari seabad itu.
Kaitan yang bersifat sangat emosional, suci, serta berada dalam tali indah
dakwah dan ukhuwah islamiyyah, karena kaitannya terhubung dengan ajaran tauhid
untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Almarhum KH. M. Syafi’i Hadzami, ulama besar Betawi
generasi belakangan, pernah bercerita bahwa ia tak pernah mangkir sekalipun dri
Majelis Taklim Kwitang yang diadakan Habib Ali disetiap Minggu pagi. Ketika KH
Syafi’i Hadzami selesai menulis sebuah kitab berjudul Hujjatul Bayyinah, Habib
Ali lah yang ia mintakan rekomendasikan atas karya itu. Habib Ali waktu itu
memuji karya tersebut bahkan memberikan hadiah Al-Qur’an, tasbih dan sejumlah
uang sebagai apresiasi atas pencapaian muridnya.
Tak hanya KH Syafi’i Hadzami, banyak ulama masyhur
Betawi lain pernah mengaji kepada Habib Ali atau setidaknya pernah menghadiri
taklim beliau di Kwitang. Beberapa nama yang bisa disebut adalah KH. Abdullah
Syafi’i , KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun, KH Hasbialloh, Kh Ahmad Zayadi
Muhajir, KH Achmad Mursyidi dan Syekh Muhammad Muhajirin Amsar Ad-Dary dari
Bekasi. Nama-nama ini kemudian mendirikan perguruan Islam sendiri, yang
kemudian melahirkan banyak ulama serta pendakwah Islam yang menyebar seantero
Jakarta dan sekitarnya, bahkan daerah lainnya di nusantara.
Habib Ali al-Habsyi adalah putera dari Habib
Abdurrahman Al-Habsyi dan ibunya Nyai Salmah. Ketika akan melahirkan Habib Ali,
Nyai Salmah bermimpi menggali sumur yang mengeluarkan air meluap dan membanjiri
sekelilingnya. Habib Abdurrahman yang mendengar mimpi istrinya segera
menemui Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, meminta pendangan. ”Kamu akan
mendapatkan seorang putra yang shaleh dan ilmunya melimpah-limpah
keberkatannya” ujar Habib Ahmad ketika itu. Minggu tanggal 20 Jumadil’Awal 1286
bertepatan tanggal 20 April 1870 Nyai Salmah melahirkan seorang putera yang
kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman al- Habsyi.
Hadramaut dan Mekkah
Umur 10 tahun, Habib Ali harus kehilangan ayah
tercintanya. Sang ayah berwasiat kepada ibunya agar mengirim Habib Ali
belajar ke Hadramaut (Yaman) dan Mekkah. Karena tidak memiliki uang, Nyai
Salmah menjual satu–satunya gelang yang ia miliki untuk biaya perjalanan
putranya. Gelang itulah yang membawa Habib Ali naik kapal laut mengarungi
samudra menuju tanah Arab. Pikiran muda dan jernih milik Habib Ali
dimaksimalkan sepenuhnya untuk belajar ilmu Allah. Sadar bukan berasal dari
kalangan orang mampu, Habib Ali menyambi belajar dengan menggembala kambing
untuk membiayai studinya.
Beliau mengaji dengan tekun kepada ulama-ulama
Hadramaut, lalu dilanjutkan ke Mekkah.
Belajar sekitar 6 tahun, Habib Ali kembali ketanah
air. Ia melanjutkan belajar nya kepada ulama lain di Indonesia seperti Habib
Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat,
Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus,
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), dan Habib Ahmad
bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).
Di Kwitang, Habib Ali mulai membuka taklimnya sendiri
yang menurut catatan sudah ia gelar sejak tahun 1920. Ia juga membangun masjid
di Kwitang yang dinamakan Masjid Ar-Riyadh. Ia juga membangun madrasah yang
dinamakan Unwatul Falah disamping masjid tersebut. Luas tanah sekitar 1500
meter persegi yang disewa dengan harga 25 rupiah perbulan. Majelis Kwitang
makin hari makin terkenal. Setiap Minggu pagi kawasan yang terletak dekat pasar
Senen itu didatangi puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok Jakarta, Depok,
Bogor, Sukabumi dan lain-lain.
Tak hanya ratusan tapi ribuan bahkan puluhan ribu
jamah membanjiri kawasan Kwitang setiap minggu pagi. Tausiyah yang diberikan
Habib Ali terasa mengena di hati para jamaah karena demikian halus dan jernih
penyampaiannya. Belum lagi setiap Minggu dibacakan pula maulid Simthud Durar
yang yang dikarang Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, sebuah bacaan maulid yang
mempesona. Pembacaan maulid itu sempat disiarkan secara live oleh RRI Studio
Jakarta.
Majelis Kwitang tak hanya terkenal karena jamaahnya
yang membludak, tapi juga karena kepeloporannya. Majelis Taklim Habib Ali di
Kwitang merupaka majlis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh
dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim karena takut
pada kolonial Belanda dan Jepang pada waktu itu.
Menurut sejarawan Betawi, Umar Shahab, penjajah Jepang
dalam upaya menarik dukungan masyarakat Indonesisa telah mendekati para alim
ulama yang punya karisma besar ditengah masyarakat. Setiap pagi, saat muncul
matahari, rakyat diharuskan membungkuk menghadap matahari. Tenno Heika, kaisar
Jepang kala itu dan kaisar-kaisar sebelumnya oleh rakyatnya dianggap putra dewa
matahari.
Ketika itu, para ulama dan tokoh pejuang menolak
keharusan ini karena dianggap sebagai perbuatan musyrik. Akhirnya, kebiasaan
ini dihentikan. Habib Ali adalah salah seorang yang menolak kebijakan itu
dengan menggelar taklim setiap Minggu pagi. Majelis Kwitang inilah yang
kemudian memberi virus bagi masyarakat Jakarta untuk menggelar taklilm di
tempat lain, terkhusus setelah Habib Ali wafat pada tahun 1968.
Akhlak Indah
Tak ada resep lain yang membuat Majelis Kwitang bisa
begitu mempesona selain karena cemerlangnya ilmu dan indahnya akhlak Habib Ali.
Tak hanya dengan orang yang mencintainya, kepada orang yang membencinya Habib
Ali juga berlaku santun. Akhlak sang Habib kepada ibunya juga dikabarkan sangat
luhur. Ia berbakti dengan ikhlas dan selalu tawadhu. Tak pernah ia membantah
perintah ibunya sekalipun. Jika sedang pergi belajar atau berdakwah ke tempat
yang jauh dan ibunya meminta ia kembali melalui telegram, ia akan segera
kembali secepatnya.
Ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid,
kemurnian iman, solidaritas sosial dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul
karimah. Habib Ali menurut para ulama dan habaib mengajarkan latihan kebersihan
jiwa melalui tassawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki,
ghibah, ataupun fitnah. Sebaliknya ia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,
menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.
Habib Ali Kwitang Bersama Habib Ali Bungur |
Setiap orang yang berjumpa dengan beliau apalagi
sampai mendengar pidatonya, pastilah sangat tertarik dan tersentuh hatinya.
Terutama disaat beliau mentalqinkan zikir atau membaca shalawat dengan
suara mengharukan dan tetesan airmata, maka segenap yang hadir turut meneteskan
air mata. Itulah gambaran kejernihan hati dan kecintaan seorang hamba jika sedang
menyebut nama Rabb-Nya, Salah satu peristiwa yang dikaitkan dengan Habib
Ali adalah pada saat ia mempersaudarakan anaknya, Habib Muhammad dengan tiga
ulama betawi terkenal yang juga merupakan muridnya sebelum ia wafat. Tiga orang
kyai kondang asal Jakarta yakni , KH. Abdullah Syafi’i, KH. Thahir Rohili, KH.
Fathullah Harun ia minta maju ke hadapannya.
Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali mempersaudarakan tiga ulama itu dengan anaknya dan berharap keempat ulama itu terus mengumandangkan dakwah Islam. Harapan itu berbuah manis, Habib Muhammad meneruskan tugas ayahnya memimpin Majelis Taklim Kwitang selama 26 tahun sebelum digantikan anaknya, Habib Abdul Rahman al- Habsyi hingga sekarang.
KH. Abdullah Syafi’i, sejak 1971 hingga 1985 memimpin
Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah yang bermetamorfosa menjadi perguruan tinggi
Islam. Hal ini sama dilakukan KH. Tharir Rohili dengan Majelis Taklim
Ath-Thahiriyah-nya. Sedangkan KH. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama
terkenal di Malaysia.
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober
1968 dalam usia 102 tahun. Wafatnya beliau mengundang perhatian banyak orang
dari berbagai kalangan, TVRI, satu-satunya stasiun televisi waktu itu juga
turut mengabarkan berita duka ini kepada khalayak.
Kini sekalipun sudah hampir empat dekade tanah Jakarta
kehilangan sumber ”mata airnya”, percikan sejuk dan berarti dari air itu masih
masih terus mengalir lewat penerus Habib Ali yang tersebar dimana-mana. Membuat
hati basah karena percikan air itu selalu mengajak orang untuk terus dekat
dengan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar