Kamis, 08 Agustus 2013

Kiai Syaifudin Amsir Bercerita Kiai dan Santri Betawi

Pesantren kiai Betawi di Jakarta dinilai tidak mampu bertahan lama. Sejak dahulu para kiai Betawi memang gemar mendirikan pesantren dengan bangunan asrama yang sangat sederhana. Namun, usia pesantren mereka cukup singkat. Bertahan sampai dua puluh tahun, para kiai Betawi itu sudah terbilang sukses.

Untuk itu, KH. Saifuddin Amsir, Rais Syuriyah PBNU asal Betawi ini bercerita kepada Alhafiz Kurniawan dari NU Onlineterkait usia dan masalah pesantren Betawi di Jakarta. Dialog berlangsung di ruang Syuriah PBNU lantai empat, Gedung PBNU, Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat, Selasa (6/11) sore.

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Saifuddin Amsir
(foto: dok nu online),  di salin juga dari suaraummat.com
Mengapa kultur kiai Betawi dan kiai Jawa agak berbeda dalam menangani pondok pesantren?

Pendirian pondok pesantren itu mudah. Tetapi merawatnya, itu yang agak sulit. Kultur pondok pesantren itu sudah membenam kuat di kalangan kiai Betawi. Tetapi kultur itu kan tidak berdiri sendiri. Kultur itu dihadapkan pada kenyataan-kenyataan di sekitarnya. Kiai Betawi bikin (pesantren, red.) juga. Tetapi nasib dari kelanggengan pesantren itu tidak sama antara Jakarta dengan daerah lain.

Kenyataan model apa yang menjadi tantangan tradisi pesantren di Jakarta?

Antara lain ya urusan keduniaan. Keduniaan menuntut orang tua di Jakarta untuk mengubah orientasi pendidikan anak mereka. Dari situ, pendidikan sistem pondok, kurang dilirik oleh orang tua.

Itu pula yang mengubah perilaku masyarakat Betawi. Mereka dihadapkan untuk menyaingi jangkauan-jangkauan orang kafir yang ada di Betawi. Yang bila dia tidak ikut menyusul, maka dia akan tersisihkan, teralienasi dari kehidupan Jakarta. Itu yang mesti disadari.

Berbeda dengan yang ada di Jawa. Daerah yang terpajang maju itu, hanya ada pada lapis depannya saja. Untuk ke belakangnya, kalau bukan hutan ya tentu sawah. Lain dengan Jakarta. Pada zaman kolonial, Jakarta sudah punya metropol, kapitol, gedung bola Harmoni yang dikunjungi orang-orang dunia saat itu.

Sekarang rumah bola Harmoni sudah nggak ada itu. Yang jadi Duta Merlin, saya pernah membaca alquran di situ, di hotel jaman dulu. Masih kita melihat lantainya dari kayu jati yang mungkin tebalnya sejengkal untuk berdansa. Dan NU pun pernah hadir di situ. NU mentradisikan sesuatu yang belum pernah menjadi tradisi di Jakarta.

Habis pengajian, mereka menyetel musik. Itu terjadi pada tahun 1969. Saat itu saya masih suka membaca Al-Qur'an.

Lalu bagaimana reaksi para kiai melihat kenyataan demikian?

Kiai Betawi menolak. ‘Jangan kata kiai, ustad-ustad sederhana aja kagak mau bikin begini (mencampur tradisi agama dalam pesta-pesta),’ kata saya dalam hati. Dan itu bukan ulama Betawi. Ulama Betawinya pada mundur. Itu sudah terjadi sejak zaman pak Idham Cholid. Dia ketua Tanfidziyah NU waktu itu. Dia paham menyanyi, paham ini, paham itu. Dia cerdas dan piawai dalam berceramah. Dia politisi juga.

Saya mengerti itu karena dahulu saya suka mengikutinya lantaran saya suka diminta buat membaca Al-Qur'an. Emang (kualitas membaca Al-Qur'an, Red) tidak sebaik yang sekarang. Kalau sekarang kan emang dipelajarin. Kalau dahulu sih, bisa saja udah untung (Kiai Saifuddin tertawa lebar). 
Jakarta terbilang unik. Di daerah yang menjadi pusat keduniaan baik dari segi ekonomi maupun kekuasaan, terlahir banyak kiai di dalamnya. Mereka umumnya menggali ilmu agama di kota Mekkah dengan sistem pondok pesantren. Tetapi ada juga kiai Betawi yang belajar dari guru-guru alumni Mekkah.

Mereka kemudian menerapkan sistem pondok di daerahnya. Namun, kehidupan metropolitan menuntut warganya untuk mengubah model pondok pesantren menjadi sekadar majelis taklim. Tidak seperti di Jawa atau Sunda, pondok pesantren di Betawi umumnya berumur singkat karena kurang dukungan dari warganya.

Kita bisa menyebut pondok pesantren yang didirikan oleh Guru Marzuki, pendiri pertama NU Jakarta, di bilangan Jatinegara, Jaktim, dan pondok pesantren Guru Makmun, ayah KH. Abdurrazak Makmun, Katib Syuriah PBNU 1967, Kuningan, Jaksel.

Kedua pesantren ini di tahun 1930-an sangat berkontribusi bagi pengembangan kaderisasi keulamaan. Kiai Betawi generasi berikutnya banyak berhutang budi kepada dua pondok pesantren tersebut. Karena, banyak kiai-kiai tangguh Betawi dibesarkan oleh pengajaran dan keberkahan dua pondok tersebut. KH Abdullah Syafi‘I adalah satu dari sekian banyak santri pondok pesantren Guru Marzuki.

Negosiasi tradisi pesantren dan gaya hidup metropolitan menghasilkan sistem baru dalam pendidikan keagamaan di Betawi. Sistem pondok berubah menjadi model madrasah. Sebut saja madrasah Raudlatul Muta‘alllimin, Kuningan Jaksel, yang digagas pada tahun 1950-an.

Madrasah ini mengakomodir santrinya tanpa harus bermukim di asrama. Di dalamnya kurikulum pesantren diterapkan. Selebihnya, para santri pulang ke rumah. Di luar madrasah, para santri membekali diri dengan aneka keterampilan sebagai tuntutan hidup di kota metropolitan.

Meskipun pesantren di Jakarta timbul-tenggelam, kiai Betawi generasi berikutnya tidak jera untuk mendirikan pesantren. Kita bisa mendapati sejumlah pondok. Mereka antara lain Pesantren Miftahul Ulum Gandaria Jaksel oleh Guru Ishaq Yahya, Pesantren Asy-Syafi‘iyah Pondok Gede oleh KH Abdullah Syafi‘i, Ma’had Ali Al-Arbain, Al- Asyirotus Syafi‘iyyah Kebayoran Lama oleh KH Syafi‘I Hadzami.

Para kiai Betawi mengambil posisi seperti apa?

Kiai di kampung-kampung itu sebelnya setengah mati. Anda bayangkan saja! Masya Allah, habis membaca Alquran, para undangan di sebuah hotel itu dangdutan. Terang aja, para kiai kampung di Betawi ini, jengkel. Mereka bilang, “Gua kagak nyangka ada kiai (Idham Cholid) nyang model begitu”. Jadi pada waktu itu, ya begitu adanya.

Jadi Anda bayangkan NU yang dari belakang, dalam, dari ini, dari pinggiran, dari Amuntai seperti pak Idham Cholid harus mentolerir itu kehidupan keagamaan di kota.

Bagaimana bisa menjelaskan hal seperti itu, Pak Kiai?

Hal ini sesungguhnya pernah terjadi pada zaman sahabat Rasulullah di Madinah dan di negeri Syam. Umar bin Khattab pernah menegur gubernurnya yang ada di perbatasan, “Lasta amiran, bal anta malik.” Ente ini bukan pemimpin, ente ini raja. Itu ucapan yang diberikan kepada Muawiyah bin Abi Sofyan dan kepada Amr bin Ash yang di Mesir. Karena, mereka ada pada garis demarkasi, berhadapan langsung dengan (tradisi agama dan budaya, Red) orang lain. Nah, Jakarta begitu kebanyakan, nggak kuat kalau dibandingkan dengan keikhlasan orang Jawa.

Apakah kiai Betawi kurang ikhlas pak kiai?

Bukan begitu maksudnya.

Jadi bagaimana memandang para kiai Betawi?

Kiai Betawi ya, dia masih ada di sini (Jakarta) saja, sudah syukur alhamdulillah. Dia mau saja begini (mengajar kitab kuning di majelis taklim), itu nggak dapat keuntungan apa-apa. Dia ada cuma untuk agamanya. Hartanya, dia bikin habis. Kalau kamu mau bikin pesantren di Jakarta, siapa yang mau mondok di Jakarta. Usianya nggak bakalan lama. Itu kan terjadi berulang-ulang. Orang dulu di sini yang udah alim-alim, kalau sekadar mengajar ngaji saja tanpa menyediakan makanan, juga nggak dikunjungi orang. Jadi ilmu juga, ya (keluar) duit juga. (kiai Saifuddin mengumbar tertawa cukup lama).

Tetapi, pada zaman itu saya lihat khidmat orang desa Betawi dan para kiainya luar biasa. Mereka tetap semangat dalam mengembangkan pendidikan agamanya baik dengan model pesantren atau pun sistem majelis taklim.

Ini berkaitan dengan keseriusan kiai Betawi dalam mengelola pesantren?

Kalau para kiai Betawi di Jakarta dinilai kurang serius mendirikan pondok, sepertinya harus dipertimbangkan. Dan ini terjadi di kota-kota besar, bukan hanya di Jakarta.

Buktinya, mereka tetap serius kok menyebarkan ilmu pesantren. Coba lihat, guru saya delapan tahun di Mekkah. Sampai karomahnya sudah kelihatan. Dia mengajar di banyak majelis taklim. Tapi Istrinya kalau pagi menjual pisang goreng karena dia mempertahankan tradisi pesantren. Dia tidak mau masuk ke dalam gaya hidup metropolitan. Selain ilmu pesantren, dia juga mempertahankan kezuhudan di tengah silang-menyilang kehidupan keduniaan di tengah kota.

Ulama kayak gitu itu banyak di Jakarta. Makanya ketahuan oleh masyarakat kalau dia itu kiai besar, ketika ulama Jawa sudah bertemu dengan mereka. Gus Dur kan pernah minta berhenti mobilnya di tengah perjalanan, “Sebentar dulu saya mau ketemu teman saya yang lagi jalan kaki.”

Kiai Saifuddin Amsir adalah kiai masyhur Betawi, asal Kampung Berlan, Matraman, Jakarta Pusat. Dia pernah berguru kepada KH Syafi’I Hadzami, Rais Syuriyah PBNU 1994-1999, pendiri pesantren Ma‘had Ali Al-Arbain Al-Asyirotus Syafi‘iyah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Kiai Saifuddin juga pernah berguru cukup lama kepada KH Abdullah Syafi‘i, pendiri perguruan Asy-Syafi‘iyyah, Tebet dan Pondok Gede. Selain pada keduanya, Kiai Saifuddin juga menimba ilmu agama dari para kiai Betawi di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Kini, dia mengajar di sejumlah majelis taklim di Jakarta. Antara lain, dia mengajar tafsir Ibnu Katsir pada majelis taklim Ahad pagi di Masjid Ni’matul Ittihad, Pondok Pinang, dan kitab Ihya Ulumiddin pada Masjid Taman Puring, Gandaria, Jakarta Selatan, Senin malam. Dalam kesehariannya, Kiai Saifuddin tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.

sumber nu-online.co.id

Habib Syech, di antara Shalawat dan Indonesia Raya

RAHASIA SHOLAWAT

 

 “Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya senantiasa bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam baginya.” (QS. 33: 56)

Tubuhnya terbilang gemuk, wajahnya bulat, mata dan hidungnya khas tanah Arab, kopyah putih bulat tak lepas dari kepalanya. Namun tatapan mata dan gaya bicaranya medok Jawa bagian Solo: santun dan bersahabat. Itulah Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf.

Dialah Shohibu Majelis Ta’lim Dzikir dan Shalawat Ahbaabul Musthofa, di Solo. Pengajiannya selalu penuh di manapun berada. Di lapangan bola, penuh selapangan bola. Di aula kampus atau pesantren, membludak seaula kampus atau pesantren. Ribuan orang dinamis mengikuti shalawatannya dan khidmat mendengarkan taushiyahnya.

Minggu lalu Habib Syech menerima kontributor NU Online, Khoirudin dan Faiz, diterima dikediamannya di Solo, selama 1,5 jam. Ditemani teh dan kudapan, kami berbincang hangat. Di tengah berbincangan, sesekali ia menabuh genjring dan bershalawat.

Bib, bisa diceritakan latar belakang Majelis Ta’lim Dzikir dan Shalawat Ahbaabul Musthofa?

Kita melihat perpecahbelahan antarumat. Didirikannya Ahbaabul Mushtofa ingin mempersatukan umat dengan shalawat. Kita bershalawat untuk menjalankan apa yang diterangkan dalam Al-Qur’an maupun hadist. Keutamaan Shalawat yaitu untuk penyejuk dan ketentraman hati.

Siapa jama'ah yang menghadiri dalam majelis Ahbaabul Musthofa?

Ahbaabul Musthofa tidak punya jama'ah khusus. Kami hanya sebagai wadah. Jama'ahnya adalah semua umat Islam yang senang shalawat. Ahbaabul Musthofa hanya wadah untuk mengumpulkan Ahlusunnah wal Jamaah. Yang hadir dari berbagai jamaah, seperti  Alhidayah, Jamuro, dan dari semua elemen masyarakat. Biasanya yang hadir minimal sepuluh ribuan orang di setiap acara. Kalau rutinan pengajian di rumah ini setiap malam kamis yang hadir 2.000-5.000 orang.

Apa sih makna Shalawat bagi Umat Islam?

Tadinya di setiap acara saya tidak bershalawat. Saya ceramah tanpa shalawat tapi setelah saya lihat hasilnya kurang. Lalu kita mengubah cara dengan mengawali dulu dengan shalawat, baru ceramah, nasehat dan pelajaran ilmu. Itu karena manusia yang hadir mempunyai pikiran yang berlainan, pikirannya macem-macem. Setelah mereka datang di suatu tempat kita masuki dengan shalawat, dengan dzikrullah wa dikrurosulih. 

Setelah pikiran mereka dingin baru kita nasehati. Ahbaabul Musthofa memakai wadah shalawat karena shalawat adalah penyejuk. Nabi Muhammad, manusia yang kita bacakan shalawat kepada Allah adalah manusia sebagai contoh tauladan bagi umat.

Bagaimana kita menyikapi orang yang tidak menyukai sholawat?

Saya yakin semua orang suka shalawat. Jadi ketika ada orang yang tidak suka shalawat itu cuma karena dia tidak punya tempat di masyarakat. Akhirnya dia membuat ulah yang baru, akhirnya dia mendapat tempat. Kalau orang tidak suka shalawat, benci shalawat, berarti dia bukan umat Nabi Muhammad SAW. Itu sama saja ia tidak menjalankan perintah Allah dan sunah Nabi Muhammad.

Apa tantangan umat Islam saat ini?

Umat Islam kita harap bersatu. Jangan mempermasalahkan masalah furu'iyyah (cabang, red.). Islam kita mulai dihancurkan oleh orang-orang non muslim dengan merusak akhlaq dan moral bangsa ini. Lalu kenapa kita masih ribut masalah tahlil dan bukan tahlil, qunut dan tidak qunut? 

Ayo kita bersatu bagaimana kita kuatkan Islam ini dengan satu sama lain dengan mempelajari apa yang telah disampaikan orang-orang tua kita. Buka lagi Al-Qur’an, buka lagi sunah Rasul. Punya pendapat beda silakan saja, tetapi kita tidak saling menyalahkan tentang masalah-masalah furu'iyyah. Jangan kita merasa diri kita lebih baik daripada yang lain. Jangan merasa kita lebih benar. Jangan merasa kita paling dekat dengan surga. Bangsa kita perlu disatukan dan jangan pula kita dipecah belah oleh partai. Partai dan organisasi itu hanya satu wadah. Tetapi kebersamaan ini yang kita butuhkan. Jangan kita lebih mementingkan partai atau organisasi itu daripada Islamnya.

Menurut Habib, dakwah yang baik itu seperti apa?

Sistem dakwah romo kiai dan Walisongo menurut saya paling mudah dan baik, apalagi di Jawa Tengah. Dengan seni kita masuk. Shalawat kita kemas dengan kesenian. Dengan cara itu lebih mengena ke masyarakat. Istilahnya dadio banyu ning ojo kintir. Di mana tempat kita mesti masuk. Dengan orang tua kita harus menghormati. Dengan yang muda kita harus sayangi. Ada orang maksiat jangan kita caci. Sama orang taat harus kita ikuti.

Bagaimana cara agar dakwah itu berhasil?

Pertama kita harus ikhlas. Kedua, tahu karakter masyarakat yang diajak bicara. Ketiga, dakwah dengan ucapan, dengan tingkah laku, dengan harta. Terus jangan menghilangkan kesenian di masyarakat semenjak itu tidak menyebabkan lupa kepada Allah dan Rosulnya. Dakwah dengan sholawat menurut saya dapat berhasil. Sekarang hampir seluruh Indonesia bersholawat. Belum tentu orang yang bershalawat itu baik tetapi kita mengarahkan mereka dan diri kita sendiri untuk menjadi baik. Saya punya cita-cita Indonesia bershalawat. Seluruh bumi pertiwi penuh dengan orang bersholawat.

Di akhir majlis Habib membawakan lagu Indonesia Raya, apa tujuannya?

Di akhir majlis kadang saya membawakan Indonesia Raya untuk membangkitkan umat ini agar kenal kepada bangsanya, kepada negaranya. Banyak orang yang tidak hafal Indonesia Raya. Saya ingin membangkitkan ghiroh kepada bangsa dan supaya masyarkat dan pemerintah tahu bahwa setiap ulama di negeri ini selalu berdampingan dengan pemerintah yang benar.

Sumber nu-online.co.id

Minggu, 04 Agustus 2013

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

Kami Sekeluarga Besar Rumah Terapi
Bekam dengan HizibHamim Ba. Al-Muayyad
Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1434 H / 08 Agustus 2013
Semoga Allah SWT menerima puasa kita dan menjadikan kita kembali suci
dan termasuk orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Amiin Ya Robbal Álamiin.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Selamat Mudik

Mudik Asyiiikkk

Keluarga besar Rumah Terapi Bekam dengan Hizib Hamim Ba. Al-Muayyad mengucapkan selamat mudik dan pulang kampung, silaturahim di kampung halaman. hati-hati di perjalanan selamet sampai tujuan pulang perginya.

Selaamt Mudik (pulang kampung) sungkem orang tua dan sanak famili, nyambung silaturahim hidup biar berkah

Kamis, 01 Agustus 2013

Story: Mayat Membaca Surat Yasin di Liang Kubur

Ini adalah Kisah Nyata yang telah diceritakan oleh pelajar-pelajar yang menimba Ilmu di Arab Saudi. Peristiwa ini baru saja terjadi dan dibenarkan oleh Ustaz Halim Naser seorang peneliti Muslim
Alkisah.. Pada suatu hari di musim haji yang, pelajar pelajar tersebut yang sama-sama menunaikan haji kebetulan mengikuti rombongan orang Arab untuk mengebumikan mayat seorang yang meninggal dunia pada musim haji. Makam tersebut terletak di Ma’la….tempat pengebumian para jemaah haji yang meninggal dunia di Mekah….
Cara mengebumikan mayat ialah dengan cara meninggalkan mayat dalam lubang yang disediakan dan menutupnya untuk kira-kira delapan bulan. Setelah delapan bulan, lubang itu akan dibuka lembali untuk mengebumikan mayat yang baru.
Begitu sampai pada pemakaman yang liang kuburnya sudah disiapkan untuk mengebumikan mayat yang baru, orang-orang Arab tersebut behamburan lari ketakutan karena nampak mayat sedang bersila, bukan tidur seperti kebiasaannya. pelajar pelajar tersebut ini memberanikan diri merangkak ke dalam kubur tersebut untuk melihat dengan lebih jelas. apa yang terjadi diliang kubur tersebut. Hasilnya dia mendapati memang ada mayat sedang bersila dan mayat tersebut sedang membaca Al Quran.
Sseterusnya. Ayat Quran yang terbuka ialah Surah Yasin. Satu lagi perkara ialah mayat tersebut tidak hancur dan kain kapan yang membalutinya juga tetap utuh. Yang yang tidak ada hanyalah kapas yang diletakkan di antara mayat dengan kain kapan (kain ehram).
Setelah setelah diteliti, rupa-rupanya mayat tersebut ialah mayat seorang lelaki berkulit hitam yang kerjanya ialah membersihkan Baitullah daripada tumpahan air zam-zam. Dan ketika perkerjaannya sudah slesai daripada membersihkan Baitullah dari tumpahan air zam-zam. Dia akan duduk di satu sudut Baitullah dan membaca Surah Yasin.
Itulah kelebihannya bagi orang yang berbakti ke jalan Allah…
Inilah yang membuatkan kita semakin berkobar-kobar untuk mengunjungi Baitullah… .
Selepas peristiwa itu, lubang kubur itu pun di patri (disemen) dan ditandai agar tiada mayat lagi yang akan dikebumikan di situ….
Semoga dapat menjadi renungan buat kita semua. Inilah bukti akan janji-janji Allah pada hamba-Nya yang taat dan ikhlas bekerja kerana-Nya. (berita-aulia/jow)